Kamis, 08 Desember 2011

Pengajaran Akuntansi Harus Dimutakhirkan

MEDAN (Berita): Pengajaran akuntansi di kampus saat  ini harus segera dimutakhirkan, seiring kebijakan Indonesia  yang telah mendeklarasikan penggunaan konvergensi sistem  akuntansi internasional atau International Financial  Reporting Standards (IFRS). Sistem ini sendiri akan  diberlakukan di Indonesia mulai Januari 2012 mendatang.
Hal itu diungkapkan Galumbang Hutagalung dosen dari  Universitas Pelita Harapan Jakarta, ketika tampil sebagai  narasumber dalam seminar Dampak Perubahan Standar Akuntansi  dengan Mengadopsi IFRS terhadap Perubahan Kurikulum Akuntansi  di kampus Universitas Panca Budi, kemarin.
Galumbang menyebutkan, tantangan besar dunia  pendidikan akutansi Indonesia saat ini adalah kemampuan  akuntan akademisi untuk mengikuti perkembangan standar  akuntansi yang sangat cepat.
“IFRS ini sendiri merupakan standar akuntansi  internasional yang diterbitkan oleh Internasional Accounting  Standard Board (IASB) yang merupakan lembaga independen untuk  menyusun standar akuntansi,” kata Galumbang.
Sistem IFRS ini memiliki karakteristik tersendiri  juga manfaat seperti untuk meningkatkan daya banding laporan  keuangan, menghilangkan hambatan arus modal internasional,  mengurangi biaya pelaporan keuangan bagi perusahaan  multinasional dan biaya untuk analisis keuangan bagi para  analis hingga meningkatkan kualitas pelaporan keuangan menuju  best practice.
Dijelaskan Galumbang, dampak sistem ini yang akan  timbul dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)  adalah relevansi laporan keuangan akan meningkat karena lebih  banyak menggunakan nilai wajar, akses ke pendanaan  internasional juga akan lebih terbuka karena laporan entitas  akan lebih mudah dikomunikasikan kepada investor global dan  penggunaan off balance sheet akan menjadi semakin terbatas.  “Smoothing income menjadi semakin sulit dengan penggunaan  balance sheet approach dan fair value,” kata Galumbang.
Oleh karena itulah, sebut Galumbang kampus yang  menyelenggarakan jurusan Akuntansi harus memutakhirkan materi  ajar dengan IFRS terutama untuk mata kuliah yang terkena  dampak besar dari IFRS. Disebutkannya, mata kuliah yang  terkena dampak besar dari IFRS ini adalah pengantar  akuntansi, akuntansi keuangan menengah, teori akuntansi,  akuntansi internasional, akuntansi keuangan lanjutan, seminar  akuntansi atau akuntansi topik khusus, metodologi penelitian  serta analisis laporan keuangan.
“Selain melakukan pemutakhiran materi ajaran, kampus  juga harus melakukan kajian-kajian dan riset tentang IFRS,  menggunakan text book berbasis IFRS dan pengetahuan mengenai  pengungkapan berdasarkan IFRS,” jelas Galumbang.
Sebelumnya Rektor Unpab, HM Isa Indrawan ketika  membuka seminar mengakui seminar ini memang terkesan lambat  diadakan mengingat agenda tahun 2012 Indonesia harus  menerapkan PSAK berbasis IFRS secara bertahap dan melakukan  evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif.
“Namun inilah karya perguruan tinggi untuk menghasilkan  akuntan yang menguasai IFRS walaupun belum bersifat total dan  komprehensif,” kata rektor dalam sambutannya dibacakan Wakil  Rektor II, Saimara Sebayang SE MSi.
Dia menyatakan seminar ilmiah IFRS ini diadakan memang  berdasarkan adanya kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai  anggota G20, forum yang mencanangkan usaha meningkatkan daya  informasi dari laporan keuangan perusahaan.
Menurutnya perusahaan di Indonesia telah meningkatkan  transparansi dan akuntabilitas, mengubah regulasi, promosi  integritas, perkuatan internasional corporation dan reformasi  internasional financial institusi.
Melalui seminar ini rektor berharap Unpab sebagai  perguruan tinggi yang mengelola program studi akuntansi tidak  boleh tertinggal dalam menyikapi perkembangan ilmu akuntansi.
“Setelah seminar ini kami berharap kegiatan ini dapat  berlanjut untuk membekali lulusan dengan berbagai pengetahuan  seperti PSAK yang sudah disesuaikan dengan standar IFRS,  mengetahui dampak dan pengaruh perubahan standar, memperkaya  keilmuan tentang IFRS sebagai bidang keahlian dan  keterampilan dalam proses perubahan di bidang ilmu  pengetahuan akuntansi,” paparnya.
Ketua pelaksana seminar yang juga assisten Prodi  Akuntansi Nazli Azwani SE menyebutkan seminar dihadiri Dekan  FE Unpab Muhammad Toyib Daulay SE MM ini diikuti 150 peserta  dari kalangan mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Medan,  antara lain Universitas Pembangunan Panca Budi, Universitas  Dharma Agung, Akademi Akuntansi Profesional Indonesia, dan  Politeknik Poliprofesi.(aje)

Senin, 10 Oktober 2011

Tiga Dunia Parwati Surjaudaja

Thursday, July 7th, 2011

oleh : Henni T. Soelaeman


Perbankan, musik klasik dan keluarga adalah dunia Parwati. Perbankan, tempat ia mencurahkan kemampuan akademis dan profesionalitasnya. Musik, pelabuhan jedanya. Keluarga, energi yang membuatnya selalu bahagia.
Pagi masih menyisakan embun di dedaunan ketika denting piano terdengar lamat-lamat dari ruang tengah rumah yang tengah direnovasi. Angin berdesir menyelinap membawa aroma tanah sisa hujan semalam, menyapa sosok berbalut T-shirt dan celana panjang yang asyik memainkan tuts piano dengan lincah. “Sejak kecil saya sudah belajar piano, ini kegiatan wajib yang harus diikuti,” ungkap sang pemilik rumah, Parwati Surjaudaja, yang sejak kecil pula sudah dibiasakan mendengarkan genre musik klasik oleh kedua orang tuanya. Ia pun akrab dengan karya Mozart, Beethoven, Johann Sebastian Bach, Franz Schubert, Frederic Chopin.
Piano dan musik klasik adalah tumpuan kegelisahan sekaligus pelabuhannya menyandarkan jeda. “Kalau sedang stres atau ada waktu senggang, saya tak lepas dari earphone Ipod, mendengarkan musik klasik favorit,” tutur Parwati. Musik klasik adalah teman yang mampu mendamaikan hati dan pikirannya. Seperti pagi di akhir Mei lalu. Hanya sebentar memang ia berada di depan piano. Namun, dentingan piano itu meluruhkan kepenatan lima hari didera setumpuk aktivitas kerja. Sabtu pagi adalah hari yang paling membahagiakan. Ia bisa melewati akhir pekan bersama keluarganya tanpa dikejar-kejar waktu. Tanpa agenda meetingdengan siapa pun. Hari yang yang selalu ia rindukan. Dan, pagi itu ia teramat bahagia karena bisa memenuhi janjinya menemani putri kecilnya ke sekolah. Maka, ia segera bergegas ketika jarum jam beranjak ke angka 6.
Albert Raharja Kusuma (21 tahun), Sagara Raharja Kusuma (13 tahun), Narendra Raharja Kusuma (12 tahun), Letisha Raharja Kusuma (10 tahun), dan Basuki Widjaja Kusuma adalah pelabuhan hati Parwati. “Mereka yang membuat hidup saya sangat bahagia,” tuturnya. Keempat buah hatinya dan sang suami, Basuki, diakuinya yang membuat dirinya sampai pada titik saat ini. “Tanpa dukungan mereka, saya bukan siapa-siapa,” katanya. Bagi Parwati, keluarga adalah prioritas utama dalam hidupnya. Baginya, mengikuti dan memantau perkembangan anak, termasuk akademisnya, adalah wajib hukumnya. Hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya adalah menyaksikan anak-anak tumbuh besar dan sehat. Liburan bersama keluarga pun menjadi agenda prioritasnya ketika ia bisa meninggalkan sejenak rutinitas kerja. “Biasanya kami bertemu di bandara, anak-anak dan suami dari rumah, saya dari kantor,” katanya sambil terkekeh.
Kedekatan Parwati dengan keluarganya terlihat dari hubungan mereka yang begitu cair. Mereka biasa saling “mengusili”. Parwati bercerita, ketika ulang tahunnya, ia dibangunkan oleh anak-anak dan suaminya tepat jam 12 malam. Masih mengantuk, Parwati digiring ke meja makan. Di sana, sudah tersedia semua makanan kesukaannya, termasuk kerupuk ikan. “Malam itu, saya habis dikerjai mereka,” ceritanya sembari tertawa. Lain kali, dari kantor ia sempat terbirit-birit menuju bandara karena takut ketinggalan pesawat. Pasalnya, mereka sekeluarga sudah janjian bertemu di bandara. “Sampai di bandara, saya mendapat telepon dari suami kalau ia datang terlambat. Saya panik karena waktu sudah mepet. Eh, tahunya dia sudah ada di belakang saya,” ceritanya sembari tertawa.
Ketika Parwati diberi kepercayaan menjadi orang nomor satu di Bank OCBC NISP Tbk., hal pertama yang dilakukan adalah meminta pandangan anak-anak dan suaminya. “Saya jelaskan kepada mereka, konsekuensi jabatan tersebut, termasuk kesibukan yang bisa jadi membuat saya sering pulang malam, ke luar kota, di samping benefit-nya. Waktu itu saya sudah siap seandainya mereka tidak setuju, ya saya akan mundur,” cerita Parwati. Ternyata mereka mendukung. “Mereka bilang, ayo Mami, ini kepercayaan, jangan disia-siakan, intinya begitulah mereka memberi dukungan moril kepada saya,” tambahnya. Baginya, dukungan anak-anak adalah komitmen yang harus dijabarkan dengan gamblang. Parwati pun lantas menuangkan komitmen anak-anaknya dalam sebuah surat. “Jadi, kalau mereka komplain saya sering pulang malam dan Sabtu- Minggu juga kerja, saya tinggal sodorkan surat itu untuk mengingatkan dukungan mereka,” tuturnya dengan tawa berderai.
Sejak memangku jabatan sebagai Presdir PT Bank OCBC NISP Tbk., waktu 24 jam seolah tak cukup buat Parwati. Senin sampai Jumat, ia sudah sampai di kantornya di Gedung OCBC NISP, kawasan Mega Kuningan, Jakarta, saat matahari memberi sinar hangat. Tiba di kantor, setumpuk agenda sudah menyambutnya. Kalau tidak rapat dengan jajaran direksi, ya dengan mitra kerja. Hampir setiap hari, ia pulang ke rumah saat malam sudah mendekap bumi. Beruntung ia tinggal di Menteng, sehingga tak memerlukan waktu lama pergi dan pulang ke rumah. Kerap kali ia pun harus melewatkan Sabtu-Minggu untuk urusan pekerjaan. Maklum, sebagai orang nomor satu, ia harus rapat dengan banyak relasi.
Beliau selalu hadir pukul 07.30 di kantor setiap hari,” ujar Hardi Juganda, Direktur PT OCBC NISP. Dalam pandangannya, Parwati memiliki kemampuan mengelola waktu untuk berbagai peran yang diembannya. “Sebagai CEO, leader sebuah bank yang cukup besar, seorang ibu dan seorang istri. Beliau melakukannya secara konsisten dan penuh tanggung jawab,” ucapnya.
Konsistensi, bagi Parwati, adalah harga mutlak. Seperti ritme kerja, sejatinya sudah menjadi keseharian Parwati sejak bergabung dengan Bank NISP – sebelum ganti baju menjadi OCBC NISP – lebih dari dua windu. Parwati tidak berubah. Ia sudah berada di kantor dan memulai kerja ketika banyak karyawan masih terjebak kemacetan Jakarta. “Saya memilih datang pagi-pagi juga biar tidak kena macet,” katanya. Seperti pagi, Jumat itu. Pukul 9, waktu yang dijanjikan bertemu SWA. Senyum ramahnya langsung mengembang begitu ia memasuki ruang tamu direksi di lantai lima Gedung OCBC NISP. Senyum yang sama ketika SWA pertama kali bertemu dengannya, hampir 15 tahun lalu. Ketika itu Parwati adalah belia yang terpilih sebagai pemenang World Young Business Achiever Award dari Worldcom Group Worldwide (1996) yang mewakili Indonesia dalam pemilihan tingkat dunia di Inggris.
Saat ini, sebagai pucuk pimpinan bank dengan total aset Rp 47,8 triliun per triwulan I/2011, Parwati masih seperti dulu: ramah dan hangat. Penampilannya pun tak berubah. Rambut pendek dengan setelan celana panjang. Wajahnya disapu bedak dan lipstik yang sangat tipis, nyaris tak kentara. Oya, Parwati memang dari dulu tidak suka ber-make up. “Saya dari kecil tomboi,” katanya. Tak ada aksesori yang menghiasi tubuhnya, kecuali arloji dengan tali hitam dan sepasang anting kecil. Pagi itu, ia juga membalut tubuhnya dengan setelan blus dan celana panjang – busana yang paling digandrungi karena ia hampir tak pernah pakai rok. Pagi itu ia memilih padanan blus batik dengan nuansa merah, hijau pupus dan hitam, yang dipadankan dengan celana hitam dan sepatu hitam berhak tanpa ornamen.
Saya masuk ke dunia perbankan sebetulnya tanpa sengaja. Namun, apa mau dikata, nasib menentukan lain. Yah, seperti inilah saya sekarang,” ujar Parwati sembari tersenyum lebar. Meski bukan dunia yang dicitakannya, bukan berarti Parwati bekerja setengah-setengah. Ketika pilihan itu diambil, ia pun total. Give the best to your work, and it will make you to be the best. Parwati sempat mengukir impian menjadi dokter anak. Namun, ia harus mengubur dalam impiannya. Pasalnya, sang ayah, Karmaka Surjaudaja, saat itu dalam kondisi sakit. Setamat SMA, ia diberi waktu lima tahun untuk segera menuntaskan pendidikan. Ultimatum sang ayah membuat Parwati banting setir mengambil jurusan akunting & keuangan di San Francisco State University, Kalifornia, Amerika Serikat. Pilihannya mengambil jurusan tersebut supaya bisa selesai sesuai dengan tenggat yang diberikan ayahnya. Terbukti, ia malah menyelesaikan dalam waktu 2,5 tahun saja. Sisa waktu, ia mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Di universitas yang sama, ia mengambil gelar MBA.
Belakangan, ia bersyukur mengambil bidang tersebut. Karena, ternyata akuntansi adalah inti dari sebuah bisnis. Latar belakang pendidikan ini menjadi tahap persiapan yang sangat berarti baginya, khususnya saat mulai bergabung dengan Bank NISP (sebelum diakuisisi oleh OCBC) pada 1990. Sebelumnya, ia berkarier di SGV Utomo/Andersen Consulting (sekarang Accenture) sebagai Konsultan Senior (1987-1990).
Sejatinya, dunia perbankan tak asing bagi Parwati. Perbankan adalah denyut keseharian di lingkaran keluarganya, bahkan sejak ia dilahirkan di Bandung, September 49 tahun lalu, sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pemilik Bank NISP, Karmaka Surjaudaja. Orang tuanya tak pernah memaksanya bekerja di Bank NISP. “Permintaan dari orang tua pasti ada, tapi sama sekali tak ada paksaan. Ini soal tanggung jawab personal,” ungkap mantan Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia-Amerika Serikat, San Francisco (1986) ini. Ia sangat paham bagaimana sang ayah merintis dan membangun NISP. Ia ingin menjadi bagian dari perjuangan sang ayah membesarkan NISP.
Tahun 1990-1997, Parwati resmi menjabat direktur yang menangani audit, keuangan dan perencanaan strategis. Faktor keluarga tak membuatnya seenaknya menjalankan tugas sebagai salah satu direksi. Justru hal itu sebagai pemacu untuk membuktikan bahwa ia mampu menempatkan posisi yang dijalaninya. “Sebagai anak pemilik justru berat bebannya karena semua orang pasti akan melihat ke arah kami,” katanya. Parwati pun bertekad membuktikan bahwa penunjukan dirinya berdasarkan kemampuan, bukan faktor keturunan.
Berdua dengan sang kakak Pramukti Surjaudaja, mereka ikut andil membangun NISP. Mereka menjadi saksi dan turut merasakan fase perjalanan Bank OCBC NISP. Salah satunya, saat Bank NISP menjadi bank devisa tahun 1992. Dua tahun berikutnya, perusahaan keluarga ini akhirnya berhasil go public. Masuknya Bank NISP menjadi bank devisa dan go publicmerupakan tonggak terpenting perjalanan bisnis keluarga ini. “Siap tak siap, kami memang harus terus berkembang menjadi perusahaan yang lebih profesional lagi. Kami harus siap mental karena jika sudah go public semuanya mesti transparan,” ujar Parwati.
Tahun 1997, Parwati diangkat menjadi wapresdir yang menangani akunting, keuangan dan perencanaan strategis. Tahun itu, Bank NISP banyak menemui masalah. Krisis ekonomi 1997-1998 menyebabkan perekonomian Indonesia goyah, rupiah melorot tajam, ujung-ujungnya aktivitas bisnis dan perdagangan lesu. Begitu pun industri perbankan Tanah Air. Tak sedikit bank besar dan kecil yang kebakaran jenggot menyikapi situasi saat itu. “Kami harus tetap tenang, dan tidak terburu-buru dalam mengambil tindakan. Itu yang saya dapat dari para pemegang saham dan analis. Kuncinya, jangan terburu-buru dan ikut-ikutan,” paparnya.
Kepiawaiannya menyinergikan peran dan tanggung jawab bersama Pramukti, Presdir NISP waktu itu, membuahkan hasil menggembirakan. Pascakrisis, saat ekonomi Indonesia merangkak kembali, Bank NISP kian melaju pesat. Tahun 2001, NISP dimiliki oleh IFC, anak perusahaan bank dunia sebagai pemegang saham. Tahun 2004, NISP resmi “kawin” dengan Bank Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC). Lagi, mergernya NISP dengan OCBC kemudian menjadi Bank OCBC NISP salah satunya karena peran Parwati.
Puncak totalitasnya, ketika 16 Oktober 2008, Parwati resmi diberi kepercayaan menempati kursi Presdir Bank OCBC NISP. Padahal, mayoritas pemegang sahamnya adalah OCBC. “Kalau ditanya kenapa saya menduduki jabatan ini, tanyakan saja ke pemegang saham. Saya hanya bekerja sepenuh hati dan fokus membangun bank ini,” tutur Parwati merendah. Jawabnya sebetulnya sudah jelas, dan itu bisa dilihat dari keberhasilannya selama bertahun-tahun ikut membangun dan mengembangkan bank yang dulu bermarkas di Kota Kembang ini.
Di mata Hardi, Parwati selalu memberikan semangat yang luar biasa bagi dirinya dan para karyawan. “Ia selalu konsisten, dapat melihat celah dan peluang, ia sosok pantang menyerah,” ujarnya. Kekuatan Parwati yang patut diacungi jempol, menurutnya, adalah intuisinya sebagai seorang pemimpin, wanita, dan ibu. “Suatu intuisi yang juga didasari kecerdasan angka dan perhitungan bisnis yang kuat. Ini sangat mendukung dalam pengambilan keputusan-keputusannya,” papar Hardi.
Sosok bankir yang baik. Itulah pujian yang dilontarkan Made Rahardja yang menjadi nasabah Bank OCBC NISP sejak 1995. Menurutnya, sebagai pemimpin tertinggi, Parwati mampu menyetir perusahaan ke arah lebih baik. “Sebagai bankir, beliau mempunyai naluri yang kuat. Beliau mampu melihat hal-hal jauh ke depan dan dengan naluri bankirnya beliau dapat memutuskan tidak sekadar melalui analisis data yang tersurat, melainkan berdasarkan hal yang tersirat. Kelebihan beliau adalah seorang yang sangat logis dan ini sangat mendukung keputusannya sebagai bankir profesional,” ungkapnya.
Di tangan Parwati, Bank OCBC NISP yang baru saja merayakan 70 tahun usianya mampu bertahan dalam gejolak perekonomian dan persaingan perbankan yang makin keras. Pascamerger, OCBC NISP tidak hanya berhasil mencatatkan pertumbuhan yang baik tetapi dapat menjaga tingkat rasio yang sehat bagi sebuah bank. Parwati menjelaskan, pada triwulan 1/2011, total aset OCBC NISP telah mencapai Rp 47,8 triliun. Angka ini meningkat 20% dibanding periode yang sama tahun 2010 (Rp 39,7 triliun). Kepercayaan masyarakat yang semakin tinggi diimbangi konsistensi dalam peningkatan kualitas produk dan layanan, telah membuahkan pertumbuhan sebesar 22% pada dana pihak ketiga bank, menjadi sebesar Rp 36,9 triliun dari Rp 30,2 triliun per akhir Maret 2010. Pertumbuhan dana pihak ketiga ini diikuti keberhasilan bank dalam meningkatkan 31% dana murah bank menjadi Rp 22,2 triliun dari Rp 17,0 triliun per triwulan 1/2010. Dengan demikian, komposisi dana murah mendominasi 60% total dana pihak ketiga OCBC NISP.
Dengan slogan Your Partner for Life, melayani sepenuh hati hingga generasi berikutnya, Parwati ingin membawa OCBC NISP menjadi bank berstandar internasional dan bisa menjadi lima besar bank swasta nasional tahun 2013. Diakuinya, pencapaian bank ini sampai 70 tahun dengan segala keberhasilan yang ditoreh adalah kerja keras seluruh karyawan. Menurutnya, perjalanannya tak semulus yang dibayangkan. Suatu perjalanan panjang yang penuh tantangan melewati pasang surut. Di awal 1997 hingga 2000-an, bank keempat tertua di Indonesia ini sempat goyah akibat krisis moneter.
Kerja keras tersebut mengantarkan Bank OCBC NISP bisa kembali bangkit dan membuktikan kemampuan untuk bertahan dalam gejolak perekonomian dan persaingan perbankan yang kian sengit. Indikatornya, pascamerger OCBC NISP tidak hanya berhasil mencatatkan pertumbuhan yang baik tetapi tetap dapat menjaga tingkat rasio yang sehat bagi sebuah bank: rasio kecukupan modal (CAR) 16,6%; net interest margin 5,1%; return on equity10,3%; return on asset 1,6%; dan kredit bermasalah neto (net NPL) 0,9%.
Parwati juga mampu membawa posisi perusahaan ke level yang lebih tinggi. Belum lama ini, pemeringkat International Fitch Ratings menaikkan peringkat Bank OCBC NISP dari AA+ (idn) menjadi AAA (idn), yaitu peringkat tertinggi yang diberikan Fitch Ratings kepada sebuah perusahaan. Upaya tersebut terlihat dengan meningkatnya kinerja OCBC NISP secara konsisten, sehingga meningkatkan pula kepercayaan masyarakat pada bank yang mayoritas sahamnya (81,9%) dimiliki oleh OCBC Bank Singapura ini. Selama kurun 2010, OCBC NISP juga banyak diganjar penghargaan, antara lain IICD GCG Award (Best Disclosure and Transparency)Excellence in Straight-Through Processing, Best Performance Overall in Banking Service (Infobank), dan Outstanding Payment Formatting and Straight-Through Rate 2009 dari BNY Mellon, New York.
Membawahkan 6.049 karyawan, Parwati yang sekilas terkesan easy going sejatinya pemimpin yang tegas. Ketika ada karyawan yang salah, ia tak segan menegur. Namun, ketegasannya selalu disampaikan dengan gaya yang halus dan sopan. Ia pun berusaha mendengarkan sebab kesalahan tersebut. “Saya belajar kepemimpinan dari orang tua, tepatnya ibu saya, dari beliau saya belajar banyak hal,” ucap Parwati bangga. Ia menuturkan, ibunya, Lelarati Lukman, adalah sosok ibu yang lembut tetapi tegas.
Mengurus ribuan karyawan dan membangun bank besar memberikan tantangan tersendiri bagi Parwati. Mengenai sumber daya manusia, misalnya, Parwati sulit menemukan SDM yang sejalan dengan nilai-nilai organisasi seperti integritas dan pemikiran yang panjang. “Kami tak butuh SDM cerdas. Pintar bisa terbentuk dari belajar. Tapi kami butuh SDM yang sejalan dengan visi, misi dan nilai organisasi,” katanya. Selain itu, ia juga merasa tak semua karyawannya mau dan mampu mengikuti fase perubahan. Banyak yang tak punya keyakinan dan percaya diri bahwa perusahaan akan survive dan berkembang. Padahal, perusahaan memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk berkembang. “Banyak SDM yang hanya memikirkan sekarang dan jangka pendek. Sulit menemukan SDM yang memiliki wawasan dan pemikiran jangka panjang,” katanya. Menyikapi persoalan itu, ia terjun langsung dan berusaha sedekat mungkin dengan para karyawannya. Mempertahankan talenta potensial dalam perusahaan adalah hal yang juga dilakukan agar tak kehilangan SDM yang cakap.
Di mata Hardi, Parwati menggunakan pendekatan yang sangat komprehensif. Parwati menggunakan kelebihan dan kekuatannya sebagai pemimpin, wanita, dan ibu. “Pada saatnya diperlukan tegas dan persisten, beliau tidak segan melakukannya kepada siapa pun dalam timnya. Namun, bahasa yang digunakan sangat santun. Ini yang membuat tim kami menjadi hormat dan menghargai beliau,” ungkapnya.
Sementara Mustika Atmanari melihat Parwati sebagai wanita yang tegas, mandiri, smart, terbuka terhadap masukan, berwawasan luas dan visioner, tetapi tidak pernah mengesampingkan peran sebagai istri dan ibu. “Di tengah kesibukan Ibu Parwati menjalankan peran sebagai pemimpin, Ibu sering kali menyentuh sisi kehidupan pribadi karyawannya, baik mengenai kesehatan, pendidikan anak dan keluarga, maupun interaksi personal karyawan dengan anggota keluarganya, dengan cara memberikan masukan, berbagi pengalaman di waktu tertentu,” ungkap Mustika yang menjabat sebagai Kepala Divisi Partner Bisnis HC.
Menurut Mustika, kekuatan Parwati sebagai pemimpin adalah kecepatan dan kecermatannya dalam memandang dan mencermati kondisi eksternal yang akan berdampak pada Bank OCBC NISP, sehingga langkah strategis yang diambil terarah dan bisa mengikuti alur tuntutan dan kebutuhan stakeholder-nya. Kepemimpinan Parwati yang kuat dan berkarisma, juga membawa OCBC NISP sukses melakukan perubahan dan penyempurnaan yang memperkuat posisinya di industri perbankan, di antaranya saat mengajak semua karyawan untuk berperan aktif memformulasikan kembali visi, misi, dan nilai-nilai Bank OCBC NISP; perubahan konsep organisasi menjadi segmentasi; penggantian logo, “Dan, terakhir adalah saat beliau memimpin langsung proses merger dengan BOI yang lancar dan positif,” katanya.
Di matanya, Parwati juga seorang pemimpin yang tidak pernah berhenti belajar. “Sangat menonjol kemampuan dan kemauannya untuk selalu memperbarui pengetahuannya di segala bidang, sekaligus membagikan ke para pemimpin di lingkungan OCBC NISP, sehingga karyawan semua tidak pernah tertinggal dari keterkinian informasi dan pengetahuan, serta wawasan yang lebih luas dan global,” tuturnya.
Diakui Parwati, di tengah persaingan perbankan yang semakin ketat, OCBC NISP harus hadir dan tampil beda. Meski menawarkan produk dan layanan yang sama seperti bank pada umumnya, bank yang dipimpinnya ingin tetap konsisten dalam men-delivery relationship yang diwujudkan berupa jasa yang diberikan di 408 jaringan kantor, 88 kota dan 616 unit ATM. Dalam menjalankan bisnis, OCBC NISP fokus pada pembiayaan UKM dan konsumsi. “Saat industri perbankan perang pricing, kami harus bisa memberikan layanan dan proses yang lebih. Pekerjaan rumah kami bagaimana mengerti nasabah terhadap produk yang kami tawarkan agar tak salah sasaran,” tutur pehobi berenang ini.
Saat ini, jumlah nasabah Bank OCBC NISP lebih dari 1 juta, sedangkan OCBC NISP Syariah mencapai 6 ribuan nasabah. Tahun 2006-2007 adalah tahun agresif Bank OCBC NISP berekspansi memperluas jaringan dengan berhasil membangun 70 kantor cabang setiap tahun. Langkah penggabungan antara Bank NISP dan Bank OCBC Indonesia membawa sinergi bisnis kedua bank yang semakin memperkokoh dan menambah daya saing OCBC NISP di tengah persaingan perbankan yang semakin kompetitif. Menurutnya, OCBC NISP akan semakin termotivasi untuk terus meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas kinerja, sehingga ke depan berkontribusi lebih besar bagi industri perbankan di Indonesia. “Kami tetap optimistis Bank OCBC NISP dapat tumbuh 25%-30% pada 2011, baik dari sisi aset, penyaluran kredit maupun penghimpunan dana pihak ketiga,” ucap Parwati yakin.
Dalam pengamatan Made, Parwati mempunyai visi dan misi yang jelas dan mampu menerjemahkannya ke dalam kepemimpinannya. Sebagai contoh dengan perkembangan Bank OCBC NISP dan industri perbankan yang pesat, Parwati mampu mengelola SDM-nya dengan baik. “Strategi beliau dalam rekrutmen SDM juga baik. Beliau mampu mengelola masukan dari luar, mengambil nilai-nilai positif dan menyinergikan dengan budaya yang sudah ada sehingga memperkaya budaya OCBC NISP menjadi semakin kuat,” katanya. “Saya sudah lama menjadi nasabah OCBC NISP karena pelayanan prima dan produk yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan saya.”
Hardi menambahkan, sudah begitu banyak torehan prestasi yang diukir Parwati. Baik yang bersifat tangible maupun intangible. Salah satunya, Parwati melakukan perubahan struktur yang cukup drastis kala perusahaan lain malah mempertimbangkan untuk meninggalkan pola struktur tersebut. Yang tak kalah penting, Parwati mampu memimpin proses merger dengan Bank OCBC Indonesia dalam waktu sangat singkat dan berjalan mulus tanpa hambatan yang berarti. “Sungguh suatu prestasi buat perusahaan kami,” kata Hardi kagum.
Toh, decak kagum dan penghormatan pada dirinya tak membuat Parwati besar kepala. Dengan rendah hati ia mengatakan, pencapaian Bank OCBC NISP adalah buah kerja keras bersama. Malahan ia mengaku masih banyak pekerjaan rumah yang menunggunya. Seperti pagi itu, usai perbincangan dengan SWA, setumpuk pekerjaan sudah menanti. “Jalani semuanya dengan happy,” katanya sembari menyilakan SWA menikmati aneka buah segar yang tersaji di meja. Masih banyak mimpi yang ingin diraih Parwati. Termasuk, sekolah S-3 dan membaca banyak buku yang sudah dibeli tetapi belum sempat disentuhnya. “Selama ini, saya banyak membeli buku tapi banyak juga yang belum saya baca, saya pikir nanti deh saya pensiun saya puas-puaskan membaca, hahaha,” katanya.
Dua puluh satu tahun ia ikut mewarnai perjalanan Bank OCBC NISP. Sebuah rentang waktu yang cukup panjang untuk memahami keinginan. Adakah terbersit penyesalan karena tak menjadi dokter anak seperti yang dicitakannya? “Anak saya yang kecil nanti yang menggantikan, dia ingin jadi dokter,” tuturnya dengan rona bahagia. “Mereka juga suka musik.”
Henni T. Soelaeman
Reportase: Ario Fajar